Ujian Nasional ala Balapan F1

--> --> -->
Menurut saya, ujian merupakan salah satu cara untuk mengetes kemampuan manusia, baik akademik maupun non-akademik. Ujian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, melainkan harus dinikmati. Soal perkara menghadapi ujian, aku bukan jagonya karena aku bukanlah tipe pelajar yang suka memahami waktu, terutama saat mendekati ujian. Bukannya merendah, tetapi aku harus menghadapi semua hantaman realita kehidupan yang ada, termasuk saat menghadapi ujian. Aku memang lumayan ganteng, baik hati, dan tidak sombong, tetapi itu tidak dapat diimbangi dengan prestasi yang tergolong biasa-biasa saja. Kalaupun begini, filosofi ala F1 (cepat, telaten, hati-hati, dan pantang menyerah) pun diterapkan supaya dapat mengerjakan soal ujian sesuai dengan filosofi itu.


Ketika aku masih imut-imut, tepatnya masih duduk di bangku SMP kelas 9 akhir (eh jangan salah, aku udah di level remaja loh), masa-masa menghadapi ujian nasional (UN) tinggal menghitung bulan. Berbagai cara dilakukan untuk menghadapinya, salah satunya adalah dengan menambah jam belajar hingga try-out. Mengingat aku merupakan siswa dengan prestasi yang biasa-biasa saja, aku hanya dapat mengandalkan keberuntungan untuk dapat lulus dengan meraih nilai yang memuaskan. Tapi itu belum cukup, aku harus banyak-banyak latihan dari soal-soal tahun kemarin. Bimbingan belajar pun kuikuti untuk mempermudah pembelajaranku.

Guru-guru di sekolahku terkadang memberi perhatian lebih kepadaku (dan juga siswa-siswa lainnya). Mereka juga menasehatiku dengan seribu jurus maut mereka sampai kepalaku pusing pertanda galau dan cemas karena tidak mungkin aku untuk menembus nilai minimal memenuhi targetku sendiri, 80. Paling bagus ya rentang nilai antara 60-75, kadang ngepas dengan target. Orang tuaku pun juga melakukan hal yang sama padaku, walaupun harus sampai disemprot habis-habisan.

Kalau kamu hanya lulus saja tetapi tidak sampai memuaskan Papa dan Mama, kamu akan menyesal nantinya,” begitu kata Mamaku kalau level semprotannya udah sampai tingkat menengah. Kalo Papaku mungkin kalau levelnya rendah, maksudnya dinasehati, ya hatiku langsung plong. Tetapi, kalau sudah sampai tingkat tinggi, aku langsung keder seketika. Hehehe...

Yang aku pikirkan hanyalah berusaha, berusaha, dan terus berusaha. Tetapi perasaan tidak enak itu terus menghantuiku tanpa henti-hentinya.

Seminggu menjelang ujian nasional, aku terus memikirkan UN, UN, dan UN. Hanya itu yang ada dibenakku ketika itu, tidak ada yang lain. Aku hanya bisa berdoa supaya diberi kemudahan oleh Tuhan. Aku juga hanya bisa pasrah kepada-Nya karena mungkin aku kurang diberi kesempatan untuk bisa bersaing dengan anak-anak kelas atas, maksudnya, anak-anak pintar. 
 
Jam belajar untuk latihan UN pun ditambah, Motivasi UN pun diperbanyak, dan masih ada sejuta jurus lagi untuk dapat menempuh UN dengan mantap. Semangatku tak pernah padam. Tidak ada kata menyerah dalam berlatih untuk UN.

Sehari sebelum hari eksekusi tiba, sehabis bangun tidur malah udah didamprat sama ortu. Modusnya ingin memotivasiku supaya dapat meraih nilai UN yang memuaskan.

Masak mau memotivasi aku sampai marah-marah gitu. Jangan gitu dong! Masak baru bangun tidur dan belum apa-apa udah kayak gitu,” Begitu kataku dalam hati.

Mereka memarahiku sampai sekitar satu jam lamanya. Rasanya perutku mules sekali dan ingin segera pergi ke kamar mandi.

Habis dimarahin habis-habisan, otakku rasanya seketika itu juga blank. Tidak ada kata-kata yang ingin kuucapkan dari mulutku. Galau pun menyerang secara membabi-buta. Tepar.

Sehabis mandi pagi, aku pergi ke rumah tetanggaku untuk minta doa restu. Ketika perjalanan, aku telah merasa siap untuk menempuh soal-soal UN selama empat hari. Ketika mau pamit pulang ke rumah, aku sempat minta soal-soal tahun kemarin kepadanya sebanyak satu dus supaya aku dapat memperbanyak latihan soal-soal UN dan juga biar persiapannya lebih mantap.

Setelah sampai di rumah, tidak ada waktu lagi untuk istirahat. Aku langsung latihan soal selama seharian penuh. Non stop, seperti latihan untuk persiapan balapan F1. Terkadang sih ada waktu untuk istirahat kalau merasa capek. Hingga malam, aku masih berkutat dengan banyaknya latihan soal-soal UN tahun kemarin.

Keesokan paginya, tibalah saatnya untuk diriku bertempur bersama teman-temanku menghadapi soal-soal UN yang dianggap sebagian orang menakutkan selama empat hari berturut-turut. Sebelumnya, aku berkata kepada diriku sendiri, “Kamu harus bisa, tidak boleh langsung menyerah begitu saja, kamu harus cepat dan telaten dalam mengerjakan soal, dan kamu tidak boleh melakukan suatu kesalahan apapun. Kalau kamu sampai begitu, perjuanganmu akan sia-sia.” Dari sinilah filosofi ala F1 mulai diterapkan padaku.

Sesampainya di sekolah, aku langsung menuju ke ruang ujian. Di sana aku langsung mempersiapkan alat-alat yang dipakai selama ujian. Terkadang aku sempat bergurau dengan teman-temanku. Yah, begitulah anak jaman sekarang. Lebih banyak berguraunya daripada belajarnya. Bagiku, Belajar tetaplah nomor satu.

Jam 07.45 bel sekolahku berbunyi tanda kami harus masuk ruang ujian. Alat-alat tulis langsung kutaruh diatas meja. Terkadang aku melihat teman-temanku yang juga mempersiapkan diri. Setelah lembar soal dan jawaban dibagikan, aku segera mengisi identitas diri di lembar jawab. Ibarat F1, ini merupakan sesi lap pemanasan atau warming-up lap.

Karena aku keseringan nonton F1 setiap waktu, semua yang berbau F1 kuterapkan di UN. Bagiku, seandainya UN adalah balapan F1, satu hari pelajaran yang di-UN-kan adalah satu seri, berarti empat hari UN sama dengan 4 seri. Satu nomor adalah satu lap, berarti 40-50 soal sama dengan 40-50 lap. Dan pembalap, kru tim, dan team principle-nya adalah diriku sendiri.
 
Jam 08.00 bel sekolahku meraung-raung dengan kerasnya untuk memberitahukan kami bahwa pertempuran telah dimulai. Aku langsung mengerjakan soal secepat mobil F1. Mau kesurupan rasanya. Strategi pun dilancarkan. Aku hanya memikirkan jawaban yang kuanggap benar. Nomor sulit pun dilompati begitu saja. Kecepatan pensil berputar diatas jawaban tetap dijaga supaya tidak melewati batas. Karena itu, tanganku langsung pegal walaupun baru hanya beberapa nomor.

Aku tidak akan melakukan tindakan konyol karena steward (pengawas) siap main mata dan merampas lembar jawaban tanpa ampun...

Ketika memasuki nomor pertengahan, pensilku sudah mulai tumpul dan harus sudah diganti. Begitu selesai membulati jawaban, aku segera mengganti pensil itu dengan yang yang masih runcing. Pensil yang telah tumpul kuraut dengan cekatan. Rasanya benar-benar seperti pit stop di F1.

Perjalananku untuk bisa sampai di nomor terakhir benar-benar sangat berat. Soal-soal sulit benar-benar menghadangku walaupun jumlahnya sangat sedikit. Terpaksa, aku melakukan strategi rahasiaku walaupun sebenarnya dilarang. Ya, benar, MENCONTEK.. Beruntungnya, aksiku ini tidak ketahuan oleh steward. Setelah semua nomor kukerjakan, aku langsung istirahat hingga bel selesai dibunyikan.

Jam 10.00 bel sekolah meraung lagi tanda pertempuran telah selesai. Aku langsung keluar ruang ujian dengan hati gembira. Setelah itu, aku kembali bergerombol dengan teman-teman seperjuanganku. Kemudian pulang ke rumah untuk berlatih soal lagi.

Hari kedua hingga keempat UN keadaannya sama seperti hari pertama, Semuanya berjalan mulus, tanpa ada halangan berarti. Setelah itu, aku libur selama sebulan lebih sedikit untuk mempersiapkan diri masuk SMA favorit. Walaupun begitu, perasaan cemas dan galau tetap menghantuiku karena mungkin nanti aku akan lulus, tetapi tidak mendapatkan nilai yang memuaskan.

Setelah menikmati liburan panjang selama sebulan lebih, aku masuk sekolah untuk melihat pengumuman kelulusan UN. Selama di sekolah, seperti biasa aku bergerombol dan bercakap-cakap dengan teman-temanku. Obrolannya bahkan sampai ngalor-ngidul, maksudnya kesana kemari. Ketika pengumuman 10 besar nilai tertinggi UN, Perasaan kecewa, cemas, dan sedih tercampur aduk karena aku tidak masuk 10 besar. Yang penting aku hanya berharap bulatan-bulatan di atas lembar jawaban yang kuhasilkan dari keringat tanganku sendiri akhirnya menghasilkan nilai-nilai yang memuaskan.

Memasuki siang hari, matahari telah terik-teriknya. Tetapi aku tidak merasakan panas sama sekali. Sepucuk surat pengumuman kelulusan datang kepadaku beserta teman-temanku. Setelah kubuka surat itu, akhirnya perasaan haru dan bahagia bercampur menjadi satu.

AKU LULUS!!!” Kataku sambil meloncat-loncat. Tidak ada selebrasi yang berlebihan ala F1 karena takut disemprot sama guru. Aku hanya bersalaman dengan guru-guruku saja. Setelah itu, aku langsung pulang untuk merayakan selebrasi sederhana bersama ortu dan pakdeku yang kebetulan datang untuk ikut merayakan selebrasi ini.
Andai aku punya kesempatan nonton F1 langsung di Singapura, filosofi ala F1 menurutku akan kudalami lebih jauh supaya bisa menyelesaikan ujian dengan mulus dengan nilai yang memuaskan.
-->
-->
-->

Komentar

Postingan Populer