Diantara Pembangunan, Kedisiplinan, dan Formula 1

Ini adalah ceritaku saat pergi ke Singapura dan Malaysia tanggal 29 Januari-2 Februari 2012.


Singapura merupakan salah satu dari sekian tempat wisata menarik di dunia. Selain itu, Singapura juga terkenal dengan Formula 1-nya. Pada tahun 2008 Singapura sukses menyelenggarakan balapan F1 malam hari pertama meskipun diwarnai aksi curang yang dilakukan oleh Nelson Piquet Jr. dari tim Renault (sekarang Lotus) atas kendali bos Renault itu sendiri, Flavio Briatore supaya Fernando Alonso yang juga dari Renault dapat memenangkan seri itu yang terkenal dengan sebutan crash-gate. Setiap tahun, para fans yang sering disebut F1 mania dari seluruh dunia berbondong-bondong menuju negara yang bertetangga dengan Indonesia tersebut tiap bulan September. Balapan di Singapura memang menyimpan keunikan dan keindahan tersendiri. Salah satunya adalah cahaya lampu sorot yang dipasang sepanjang trek sirkuit sangat terang, sehingga bila dilihat dari udara, trek sirkuit akan terlihat lebih jelas.

 
Sejak kecil aku selalu tidak pernah melewatkan balapan F1 sepanjang tahun dari TV, kecuali kalau ditayangkan malam hari (biasanya kalau F1 telah kembali ke Eropa) dan bukan liburan sekolah karena tentu saja harus menjalankan tugasku sebagai pelajar, yaitu belajar! Sejak kecil itu pula, keinginanku untuk melihat F1 secara langsung dari sirkuit telah dimulai. Tetapi, aku hanyalah seorang pelajar yang biasa-biasa saja. Prestasiku juga biasa, tidak seperti anak-anak hebat lainnya. Aku memang lahir dari keluarga yang agak terpandang di kalangan RT ataupun RW di wilayah tempat tinggalku, Dliwang (persisnya di belakang Ungaran Square), tetapi tidak mempunyai tetangga yang sebaya denganku kalau di tingkat RT. Kalau sampai di tingkat RW, mungkin hanya bisa dihitung dengan jari. Motivasiku untuk ke sana semakin meningkat setelah mendengarkan salah seorang teman SMP-ku yang baru saja pulang dari Singapura. Katanya Singapura itu sangat indah, mewah, bersih, dsb. Jujur saja, hanya ada satu hal yang membuat diriku tidak dapat mewujudkan impianku ke sana waktu itu: Aku takut naik pesawat terbang, terutama saat lepas landas! Setelah dibujuk oleh hati nuraniku sendiri dan juga orang-orang di sekitarku, akhirnya aku mau dan berani naik pesawat terbang. Sejak aku mengambil keputusan “gila” itu, aku mulai merencanakan untuk mencari cara agar tidak ketakutan naik pesawat terbang nantinya. Aku sempat berbicara di dalam hati sejenak, “Ya Allah, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan nanti di sana. Aku hanyalah seorang pelajar yang biasa-biasa saja dan aku benar-benar takut naik pesawat terbang.” Memang, seluruh umat manusia ditakdirkan oleh Allah swt. dan kita tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya.
Dan akhirnya doaku terkabul. Saat pesawat lepas landas dari Semarang ke Singapura dan transit semalam di Jakarta untuk beristirahat dan mengurus paspor keesokan paginya, aku menggunakan trik simple yang telah diracik jauh-jauh hari: Memejamkan mata, memegang kursi erat-erat, dan melebarkan senyumanku sampai kelihatan giginya! Dan sejak saat itu aku mulai berani naik pesawat terbang. Akhirnya aku telah sampai di Singapura dengan sehat wal afiat. Dan tentu saja, kunjunganku kali ini bukan untuk menonton F1 secara langsung karena selain waktu itu F1 masih libur setelah musim 2011 berakhir dalam rangka peluncuran mobil baru dari masing-masing tim dan persiapan uji coba pre-season perdana di Jerez, Spanyol tanggal  7-10  Februari 2012, melainkan untuk belajar tentang hal-hal yang dianggap baru bagiku di Singapura dan Malaysia selama lima hari. Dan ini adalah perjalanan pertamaku ke luar negeri setelah lima belas tahun bermimpi!
Waktu pertama kali aku menginjakan kaki di Singapura, tepatnya setelah mendarat di Bandara Changi, yang pertama kali terlintas di benakku tentu saja bukanlah F1, tetapi keramahan, kerapian, dan kebersihan orang-orang dan lingkungan di sekitarku. Aku sempat berpikir sejenak. “Apakah negara ini benar-benar aman ya?” pikirku. Namun setelah keluar bandara, ternyata tidak ada satupun kejahatan di sekitarku! Katanya sih, Singapura merupakan negara teraman di dunia karena pemerintah disana menerapkan denda tinggi bagi para pelanggar tata tertib, baik Warga Singapura maupun turis asing yang berkunjung ke sana dan juga sistem black list bagi warga negaranya, maksudnya, bila salah seorang warga negaranya melakukan tindakan kriminal, dia akan dicekal seluruh dunia! Ngeri banget... Dan katanya juga, denda paling tinggi di sana itu kalau kita merokok dan membuang sampah sembarangan. Kalau tidak salah, sekitar ribuan Dollar Singapura! Mahal sekali, yang penting semua orang yang ada di Singapura (warga asli dan turis asing) disiplin semua. Setelah keluar bandara, kebersihan tetaplah terjaga tanpa pandang bulu.
Aku terdecak kagum karena pembangunan di sana itu sangatlah pesat, dari atas ke bawah, tidak seperti di Indonesia yang selalu ke samping. Itu dikarenakan Singapura merupakan salah satu negara terkecil di dunia dan penduduknya juga sebanyak negara maju lainnya. Semua warga Singapura tidak punya telepon rumah (kecuali Perdana Menteri Singapura untuk berhubungan dengan luar negeri) seperti halnya di Indonesia, melainkan mempunyai HP sendiri untuk berkomunikasi. Di jalan-jalan tertentu, dipasang semacam gardu tol otomatis yang dinamakan ERP. Setiap orang yang lewat jalan itu harus membayar tol dengan jalan seperti biasa, nantinya kotak kecil yang telah dipasang di dashboard mobil akan berbunyi “bip-bip” dan pulsa otomatis berkurang tanda transaksi selesai. Uniknya, bila terdapat kemacetan di jalan ber-ERP, maka pemerintah akan menaikkan tarif masuk jalan itu, begitu juga sebaliknya. Dan aku sempat merasakan sebuah alat transportasi andalan Singapura yang bernama MRT.
MRT adalah semacam kereta bawah tanah yang digerakkan dengan listrik dan digunakan sebagai transportasi alternatif pengurai kemacetan yang kadang terjadi di jalanan Singapura.  MRT di sana datang tiap 2-5 menit, coba bandingkan dengan KRL di Jakarta cuma 7-10 menit saja, pasti lebih cepat di sana karena memang sudah disistem begitu sama operatornya. Urusan menaikturunkan penumpang, Singapura ahlinya. Soalnya mereka sudah menerapkan yang keluar HARUS didahulukan, sedangkan KRL di Jakarta keluar masuk sama saja, jadinya semrawut. Walaupun sama-sama harus berdesak-desakan, tapi Singapura tidak separah Jakarta. ‘Kan pintu MRT hanya terbuka selama beberapa detik saja, lalu tertutup lagi. Jakarta? Pake pintu manual! Dan itulah sebabnya Pemerintah RI segera ingin membuat jalur MRT di pusat kota Jakarta selain mengembangkan Busway Transjakarta yang telah populer di Jakarta, bahkan di seluruh Indonesia. Sama halnya dengan Transjakarta, MRT juga menjangkau berbagai daerah di Singapura dan kecepatannya yang tinggi membuat seseorang tidak pernah terlambat masuk kerja.
Dalam hal pariwisata, Singapura mampu menyaingi Pulau Bali yang terkenal eksotis. Singapura mempunyai beberapa tempat pariwisata terkenal lainnya. Diantaranya adalah Universal Studios (di Pulau Sentosa), Orchard Rd, dan Patung Merlion yang terdapat di bawah Jembatan Esplanade sisi selatan. Semua tempat itu merupakan tempat yang paling wajib dikunjungi oleh turis asing.
Kulinernya sangat lezat dan mantap walaupun harus diatas standar kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah. Masalahnya, standarnya sangat kelewatan, sehingga bila seseorang ingin memesan sesuatu dan tidak ingin memakai ini itu, maka penjualnya akan menolak pesanan orang itu. Aku pun mengalaminya saat memesan nasi goreng kesukaanku dan susu cokelat di food court Vivo City. Saat aku memesan susu cokelat di konter minuman, ternyata tidak ada pilihan susu coklat yang panas, adanya yang pakai es. Dan akhirnya aku memesan yang pakai es dan tentu saja tidak pakai es. Ternyata, setelah pesananku keluar, aku heran karena walaupun tidak memakai es, tetapi tetap dingin seperti dikasih es. Padahal, Singapura sedang panas-panasnya dan menurut sebagian orang, minum minuman dingin (es/tanpa es) bisa menyebabkan penyakit ringan, seperti flu dan batuk. Setelah itu, aku memesan nasi goreng di seberang konter minuman. Ternyata nasi goreng harus pakai telur, kalau tidak nanti tidak bisa menggoreng! Padahal aku sangat alergi telur sejak kecil dan  sangat ingin nasi goreng. Aku sempat berseteru dengan penjualnya dan akhirnya menyerah dan tidak jadi membeli nasi goreng kesukaanku. Aku sempat homesick dengan masakan Indonesia sejenak waktu itu, hingga akhirnya aku berhasil dibujuk oleh Bu Ana BK dan Bu Halimah, sang kepala sekolah untuk tetap sabar dalam menghadapi berbagai cobaan selama di Singapura.
 Kembali ke F1 lagi, ternyata atmosfer dan sensasinya masih terasa dimana-mana meskipun sirkus F1 belum sampai di Singapura. Contohnya, saat aku berjalan bersama rombongan ke pusat pleh-oleh nomor 1 di Singapura, Bugis Rd, aku melihat ada sebuah taksi yang di bagian bodinya terdapat gambar sebuah mobil F1 dari tim Lotus Renault GP (sekarang hanya Lotus). Dan begitu juga saat pergi ke Bugis Square untuk makan siang, aku melihat ada spanduk iklan sebuah jam tangan terkenal di dunia yang merupakan salah satu sponsor dari tim juara dunia saat ini, Red Bull. Pernak-pernik F1 juga dijual di Singapura, sama halnya dengan tempat lain di seluruh dunia. Tetapi, pernak-pernik itu tentu saja laku keras saat Singapura menyelenggarakan F1. Hebatnya, beberapa bagian trek yang bukan jalan raya biasa dapat dipakai untuk kepentingan tertentu. Salah satunya adalah bagian trek yang terdapat di stadion mengapung yang terletak beberapa meter dari Jembatan Esplanade sisi utara. Saat F1 tidak berlangsung, bagian trek di stadion mengapung itu digunakan untuk festival, kegiatan olahraga, dan beberapa kegiatan lainnya. Trek di beberapa bagiannya selalu dibersihkan. Ini kontras dengan sirkuit Albert Park di Melbourne, Australia, dimana beberapa bagian trek yang bukan merupakan jalan raya biasa tidak pernah dibersihkan sama sekali, akibatnya bila F1 mulai mendekat ke Australia, penyelenggaranya tidak sempat membersihkan bagian trek yang bukan merupakan jalan raya biasa itu dan saat balapan berlangsung, debu dari trek tersebut “diterbangkan” oleh mobil-mobil yang berjalan sangat kencang sehingga debu bertebaran dimana-mana dan jelas mengganggu pandangan pembalap itu sendiri dan juga para penonton.
Pada akhirnya aku mengerti walaupun Indonesia jelas kalah telah dari negara yang hanya sebesar Jakarta tersebut dalam hal segalanya, tetapi aku tetap bangga menjadi anak Indonesia yang mempunyai kekayaan alam yang sangat melimpah. Diantara pembangunannya yang sangat pesat, kedisplinan warga negaranya yang jauh lebih baik, dan Formula 1 sebagai salah satu daya tariknya, mungkin masih ada beberapa hal yang mungkin sama ataupun berbeda antara Indonesia dengan Singapura. Aku harap di masa depan Indonesia dapat menyaingi Singapura, bahkan menyalipnya. Dan juga sirkuit kebanggaan Indonesia yang berada di Sentul dapat menjadi salah satu bagian dari kalender F1 di masa depan, Amin.

Komentar

Postingan Populer